Mari kita beri apresiasi tinggi untuk semua pelajar anak bangsa negri indonesia terutama jakarta dan sekitarnya.
Baca juga : TRAGEDI1998 JILID 2 TAHUN 2025 #IND0NESIA GELAP
Baca juga : Kreatifitas orasi anak STM bengkel sampai DPR
Baca juga : pola pikir anak muda STM tentang masa depan
Baca juga : Mengenang Para Pahlawan Pejuang Reformasi 98

Pada tanggal 28 Agustus 2025, Indonesia kembali diwarnai oleh gelombang aksi massa yang cukup besar. Demo ini dipicu oleh sejumlah isu ekonomi, terutama kenaikan upah minimum tahun 2026 sebesar 8,5–10,5 persen serta tuntutan penghapusan sistem outsourcing. Aksi ini berlangsung serentak di lebih dari 300 kabupaten/kota, termasuk kawasan Jabodetabek, dan melibatkan ribuan buruh serta kelompok masyarakat sipil. Di balik hiruk-pikuk aksi yang sebagian besar digerakkan oleh serikat pekerja dan Partai Buruh, muncul sebuah dinamika menarik sekaligus mengkhawatirkan: keterlibatan pelajar.
Meski secara formal aksi ini tidak menargetkan pelajar, pihak kepolisian mencatat adanya sekitar 120 pelajar yang diamankan di wilayah Jakarta dan sekitarnya karena berusaha ikut serta dalam unjuk rasa. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana kondisi mental pelajar ketika terlibat atau sekadar terpapar oleh situasi sosial-politik yang penuh tekanan seperti demonstrasi? Artikel ini akan membahas secara rinci latar belakang demo, dampaknya terhadap mental pelajar, hingga strategi yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan psikologis generasi muda.
Demo 28 Agustus 2025
Demo besar ini dipelopori oleh Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang menolak skema penetapan upah minimum serta praktik outsourcing yang dianggap merugikan pekerja. Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyatakan bahwa masyarakat memiliki hak untuk menyampaikan aspirasi, dan DPR menyiapkan Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) sebagai saluran formal penyaluran tuntutan. Dari sisi keamanan, Polda Metro Jaya melakukan langkah preventif dengan mengamankan pelajar yang ikut dalam kerumunan massa, demi menghindari potensi kericuhan yang bisa membahayakan mereka.
Meskipun aksi ini pada dasarnya ditujukan untuk memperjuangkan hak pekerja, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pelajar menjadi salah satu kelompok yang ikut terlibat. Ada yang datang karena rasa ingin tahu, ada pula yang ikut karena ajakan teman atau provokasi media sosial. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah pelajar benar-benar memahami substansi aksi, ataukah mereka hanya terdorong oleh euforia massa?
Dampak Psikologis Bagi Pelajar
1. Konflik Identitas dan Peran

Masa remaja adalah periode pencarian jati diri. Di satu sisi, pelajar dituntut untuk fokus pada akademik, namun di sisi lain mereka memiliki rasa keadilan sosial dan ingin berpartisipasi dalam isu masyarakat. Ketika ikut demo, muncul konflik: apakah mereka sedang berperan sebagai warga negara yang kritis atau sekadar remaja yang terbawa arus? Konflik ini bisa menciptakan kebingungan identitas yang berdampak pada kesehatan mental.
2. Tekanan Emosional
Situasi demo tidak lepas dari risiko: gas air mata, bentrokan dengan aparat, atau sekadar suasana tegang di jalanan. Meski tidak selalu terjadi kekerasan, ketegangan psikologis ini dapat memicu rasa takut, kecemasan, hingga trauma. Penelitian psikologi sosial menunjukkan bahwa paparan langsung pada situasi penuh konflik bisa meningkatkan risiko gangguan kecemasan pascatrauma (PTSD) pada remaja, terutama jika mereka tidak memiliki dukungan sosial yang kuat.
3. Dampak Akademik
Pelajar yang ikut atau sekadar terpapar isu demo dapat kehilangan fokus belajar. Kecemasan atau rasa takut ditangkap aparat membuat mereka sulit berkonsentrasi. Sejumlah penelitian internasional menunjukkan adanya korelasi antara stres sosial-politik dengan penurunan prestasi akademik. Jika situasi ini berulang, pelajar berisiko mengalami penurunan motivasi belajar yang signifikan.
4. Stigma Sosial

Pelajar yang tertangkap saat ikut demo kerap dicap negatif, baik oleh sekolah maupun masyarakat. Stigma sebagai “anak nakal” atau “pelajar perusuh” bisa berdampak buruk pada harga diri. Padahal, sebagian dari mereka mungkin hanya ingin menyalurkan rasa ingin tahu. Stigma ini dapat memicu isolasi sosial, yang pada akhirnya memperburuk kondisi mental.
Faktor Penyebab Pelajar Terlibat
Beberapa faktor yang mendorong pelajar ikut serta dalam demo 28 Agustus antara lain:
- Rasa Solidaritas Sosial – Pelajar ingin mendukung perjuangan buruh meskipun belum bekerja.
- Pengaruh Media Sosial – Informasi yang beredar cepat di TikTok, Instagram, atau WhatsApp kerap menampilkan demo sebagai ajang keberanian.
- Kurangnya Pengawasan Sekolah dan Orang Tua – Sebagian pelajar bisa keluar dari lingkungan sekolah tanpa pengawasan ketat.
- Kebutuhan Ekspresi – Demo dianggap sebagai ruang mengekspresikan pendapat yang tidak mereka dapatkan di sekolah.
Respon Pemerintah dan Sekolah
1. Imbauan Resmi
Kementerian Pendidikan, melalui Mendikdasmen Abdul Mu’ti, mengimbau agar pelajar tidak terprovokasi untuk ikut demo. Menurutnya, kepedulian sosial pelajar perlu diarahkan ke kegiatan yang lebih positif, misalnya melalui diskusi kelas, organisasi OSIS, atau kegiatan komunitas.
2. Langkah Kepolisian
Pihak kepolisian menegaskan bahwa langkah mengamankan pelajar bukanlah bentuk kriminalisasi, melainkan pencegahan agar mereka tidak menjadi korban. Namun, proses pengamanan ini tetap berpotensi menimbulkan trauma jika tidak ditangani dengan pendekatan humanis.
3. Peran Sekolah
Sekolah didorong untuk memperkuat pendidikan kewarganegaraan (civics) yang sehat. Guru diharapkan menyediakan ruang diskusi tentang isu sosial agar pelajar tidak merasa perlu mencari ekspresi di jalanan. Layanan konseling juga penting untuk mendampingi pelajar yang mungkin mengalami tekanan mental akibat isu demo.
Strategi Mendukung Kesehatan Mental Pelajar

http://www.hawaiiycc.com
- Edukasi Literasi Sosial dan Politik
Pelajar perlu mendapatkan pemahaman yang benar tentang hak dan kewajiban warga negara. Edukasi ini bisa dilakukan melalui kurikulum atau seminar sekolah, dengan menghadirkan narasumber dari akademisi dan aktivis. - Penguatan Dukungan Sosial
Orang tua, guru, dan teman sebaya berperan penting dalam memberi dukungan emosional. Rasa didengar dan dipahami dapat mengurangi kecemasan pelajar. - Penyediaan Layanan Konseling
Sekolah harus menyiapkan konselor atau psikolog yang dapat diakses pelajar. Konseling ini tidak hanya untuk masalah akademik, tetapi juga isu psikologis terkait tekanan sosial. - Alternatif Partisipasi Positif
Pelajar perlu diarahkan ke kegiatan aspiratif yang aman, seperti simulasi sidang OSIS, kegiatan bakti sosial, atau kampanye lingkungan. Dengan begitu, mereka tetap bisa menyalurkan kepedulian sosial tanpa harus terjun ke demo. - Kampanye Media Sosial yang Sehat
Mengingat media sosial sering menjadi pintu masuk provokasi, sekolah dan pemerintah dapat membuat konten edukatif yang menarik, agar pelajar memahami risiko ikut demo.
Demo 28 Agustus 2025 menjadi catatan penting dalam dinamika sosial Indonesia. Di satu sisi, aksi ini adalah bentuk demokrasi untuk memperjuangkan hak buruh. Namun di sisi lain, keterlibatan pelajar menimbulkan kekhawatiran serius terkait dampak psikologis. Tekanan mental berupa konflik identitas, kecemasan, stigma sosial, hingga penurunan prestasi belajar merupakan risiko nyata yang harus diantisipasi.
Menjaga kesehatan mental pelajar dalam konteks sosial-politik bukan berarti menutup akses mereka terhadap isu-isu bangsa, melainkan mengalihkan energi kritis mereka ke jalur yang aman, sehat, dan produktif. Dengan dukungan keluarga, sekolah, serta kebijakan yang berpihak pada remaja, generasi muda Indonesia dapat tumbuh sebagai pribadi yang kritis tanpa kehilangan keseimbangan mental.